Sejarah Pertempuran Pencegatan Konvoi Sekutu di Lemah Abang (Babadan)

Daftar Isi
Sejarah pertempuran pencegahan konvoi Sekutu di Lemah Abang (Babadan) yang dilakukan oleh Mayor Soeyoto dengan pasukannya tidak dapat dipisahkan dengan sejarah Palagan Ambarawa, bahkan merupakan bagian dari perjuangan pasukan TKR untuk mengusir Sekutu dari Ambarawa

Sejarah Pertempuran Pencegatan Konvoi Sekutu di Lemah Abang (Babadan)
foto hanya ilustrasi*

Pencegatan tersebut dimaksudkan untuk menghalang-halangi bala-bantuan pasukan Sekutu-Belanda-Jepang dari Semarang ke Ambarawa, karena itu perjuangan dan pengorbanan pasukan TKR di antaranya dari Mayor Soeyoto dan pasukannya di Babadan ini telah memberikan andil yang besar bagi kemenangan pasukan TKR dalam Palagan Ambarawa

Peristiwa itu dimulai ketika Komandan Resimen 18/Divisi V Let. Kol. Bambang Soegeng di Temanggung memerintahkan Komandan Batalyon 1/Res. 18/Div. V Mayor Soeyoto untuk membawa pasukannya ke front Ambarawa.

Pada pagi hari pukul 05.00, pasukan batalyon Soeyoto berangkat dari Temanggung menempuh rute Pondoharum terus ke Pingit - Pagergunung- Sumowono dan Bandungan. Setelah tiba di Bandungan, sebagian pasukan menginap di sana, sedang sebagian yang lain meneruskan perjalanan ke Jimbaran.

Pagi hari tanggal 28 Nopember 1945, pasukan bergerak dari Jimbaran ke Ambarawa melalui simpang tiga Dukuh Sekunir (Lemah Abang). Di situ pasukan menjumpai sebuah tank yang telah dilumpuhkan oleh pasukan Soewito Haryoko dari Magelang, Dari Lemah Abang pasukan Mayor Soeyoto terus bergerak ke selatan. Ketika pasukan tiba di Karangjati, mereka berjumpa dengan pasukan Mayor Soewito Haryoko. Setelah berunding diputuskan pembagian tugas. Pasukan Soeyoto akan kembali ke utara untuk mengadakan pencegatan di Ungaran, sedang pasukan Soewito Haryoko akan tetap bertahan di Karangjati. Pada sore harinya pasukan Soeyoto sudah berada di Langensari, di mana sebagian pasukan bermalam di makam Gebugan dan sebagian lainnya berada di sekitar pasar Babadan.

 Pada malam itu juga Mayor Soeyoto memerintahkan Letda Soedarsin bersama lima orang anak buahnya untuk mengadakan pengintaian ke Ungaran, yang ternyata kosong dan tidak nampak tanda-tanda adanya musuh.

Mereka kemudian menyusun barikade dengan melintangkan sebuah pedati di tengah jalan di antara Babadan dan Ungaran. Sementara itu regu pengintai yang lain di bawah pimpinan Letda. Sri Suwarno sudah tiba di tempat itu. Mereka kemudian berpencar. Regu Letda. Sudarsin bertahan di kuburan di sebelah kanan jalan sedang regu Letda Sri Suwarno bertahan di sebelah kiri jalan.

Pada pagi hari tanggal 29 Nopember 1945 sekitar pukul 09.30 dari arah utara datang konvoi Sekutu yang dikawal sebuah pesawat udara Mustang (cocor merah). Regu Letda. Sri Suwarno segera terlibat pertempuran melawan serdadu-serdadu Jepang dan Gurkha. Karena perhatian musuh terpusat pada regu Letda. Sri Suwarno, maka regu Letda. Sudarsin dapat menghantam musuh dengan leluasa sehingga banyak jatuh korban pada serdadu musuh. Kemudian pasukan Sekutu-Jepang berpencar sehingga terjadi pertempuran sengit. Dalam pertempuran ini Letda. Sri Suwarno gugur. Kedua regu pasukan TKR kemudian terdesak mundur dengan membawa anggauta pasukan yang luka-luka.

Sementara itu Mayor Soeyoto sudah membawa pasukannya maju ke depan untuk terjun dalam pertempuran. Sebagian pasukan yang dipimpin oleh Komandan Kompi Bambang Purnomo dan Sumardi bertahan di kuburan, sebagian lagi yang dipimpin langsung Mayor Soeyoto berada di sebelah timur Tandon air Kalidoh. Ketika iring-iringan musuh yang terdiri dari tiga buah tank dan 16 truk penuh pasukan infanteri bergerak maju ke depan, secara serentak pasukan Mayor Soeyoto menyerang musuh. Mayor Soeyoto dan pasukannya terus maju menyerang musuh tanpa menghiraukan pesawat udara musuh yang terus-menerus melancarkan bombardemen.

Pertempuran terjadi dalam jarak dekat, bahkan kedua pihak terlibat dalam adu pedang (dalam hal ini Mayor Soeyoto memang dikenal ahli pedang). Ketika Mayor Soeyoto dan Sumarman merunduk untuk menyergap tank musuh, keduanya terjebak dalam kepungan serdadu Jepang sehingga terjadi perkelahian sengit. Dalam perkelahian yang heroik ini akhirnya Mayor Soeyoto gugur terkena tembakan di dada dan tebasan pedang katana pada wajahnya.

Melihat komandannya gugur, anak buahnya bertempur semakin kalap dan nekad hingga korban berjatuhan di pihak musuh. Pada akhirnya pasukan Mayor Soeyoto mengundurkan diri pada jam 14.00 dengan menderita kerugian 21 orang gugur termasuk Komandan Batalyonnya. Baru pada keesokan harinya jenazah ke-21 pahlawan tersebut dapat dibawa kembali ke temanggung dan dimakamkan di TMP desa Mudal Pikatan Temanggung.

Mereka yang gugur itu adalah: Sumiyadi, Suwito B, Letda. Sumarman, Supangkat, Kartosujono, Mayor Soeyoto (Komandan Batalyon), Sawal, Amin, Supardi. Urip, Paidjan, Djasman, Suradi, Suwito, Mubazir, dan Lettu. Sri Suwarno; sedang yang hingga kini tidak diketahui beritanya adalah Jitnoredio dan Sukidjan. Sedang tiga jenazah lainnya tidak dikenal.

Dalam hubungan ini menurut keterangan Let. Kol. Purn.Bambang Purnomo (Suara Merdeka, tgl. 14 Desember 1985), Mayor Soeyoto dan pasukannya gugur di daerah Mijen, bukan di Lemah Abang (pertigaan jalan ke Bandungan) tempat Monumen Mayor Soeyoto sekarang berdiri, sehingga tempat pendirian monumen dikatakan salah.

Mayor Soeyoto bersama pasukannya telah gugur dalam tugas menghambat bala bantuan pasukan Sekutu dari Semarang ke Ambarawa. Jasanya bagi kemenangan pasukan TKR dalam Palagan Ambarawa adalah besar, demikian juga bagi tegaknya kemerdekaan bangsa dan Negara Republik Indonesia
Azhar Titan Bukan siapa-siapa

Posting Komentar