Wawancara dengan Sang Eksekutor DN Aidit
Kisah tentang tamatnya ketua PKI DN. Aidit, seperti yang diberitakan oleh Mayjen TNI Jasir Hadibroto kepada Drs. Suryo Soemarwoto, yang dimuat dalam surat kabar Kartika dapat kita ikuti di bawah ini:
Sesudah pecah usaha perebutan kekuasaan oleh PKI terhadap pemerintah republik Indonesia yang sah, kapal yang mengangkut pasukan Brigade Infanteri-4 Divisi Diponegoro membuang sauh di Teluk Jakarta.
Kami dilarang mendaratkan pasukan, oleh sebab itu saya, beserta beberapa orang perwira staf dengan menggunakan sekoci meninggalkan kapal itu. Pasukan yang saya pimpin itu pada waktu aksi Dwikora, ditempatkan di daerah Sumatera untuk melakukan operasi, apa yang pada waktu itu disebut sebagai aksi ganyang Malaysia.
Dari kabar-kabar yang saya himpun, saya mengetahui bahwa kaum komunis mengadakan Coup D'etat yang menamakan diri G30S, membentuk Dewan Revolusi, mendemosioner kabinet dan menuduh menuduh adanya Dewan Jenderal. Yang menjadikan saya sangat sakit hati adalah berita-berita tentang gugurnya para perwira tinggi kita diantaranya yang saya kenal baik yaitu Pak Yani. Lebih-lebih setelah saya dengar gugurnya para perwira tinggi kita itu karena dianiaya oleh orang-orang komunis yang tiada berperikemanusiaan.
|
Kolonel Inf. Jasir Hadibroto saat menjabat Dan Brigif-4 periode 1963-1967 |
Saya berbesar hati karena mengetahui bahwa yang memimpin operasi melawan orang-orang komunis itu adalah Mayor Jenderal Soeharto, yang dulu juga pernah menjadi atasan saya, di Divisi Diponegoro di Jawa Tengah, saya segera melapor kepadanya.
Pertanyaan Pak Harto pada waktu itu:
Kolonel Jasir ada di mana pada waktu pemberontakan PKI pada tahun 1948?
Saya menjawab: "
Waktu itu saya harus melawan 3 batalyon komunis di daerah Wonosobo Pak setelah Kompi saya dihijrahkan dari Jawa barat ke Banjarnegara."
Kata Pak Harto:
"Nah, sekarang yang memberontak ini adalah anak-anaknya PKI Madiun zaman itu, sekarang bereskan itu semua, Aidit sekarang ada di Jawa Tengah, bawa pasukanmu kesana!
"Siap kerjakan !"
Menuju Jawa Tengah
Dengan bekal perintah panglima Kostrad untuk membereskan anak-anaknya PKI tahun 1948 itu, saya bersama Brigade Infanteri 4 menuju ke Jawa Tengah, kembali ke induk divisi Diponegoro.
pasukan batalyon
E, dan G yang tergabung dalam Brigif-4 ini ditempatkan di daerah daerah Boyolali dan Surakarta mulai 23 Oktober 1965, sedangkan Yonif F sudah ditempatkan di Klaten satu minggu terlebih dahulu.
Menjelang bulan November 1965 pada saat itu di daerah Klaten juga beroperasi satu batalyon RPKAD yang begitu Mahsyur. Komandan RPKAD, Kolonel Sarwo Edhi Wibowo pada saat itu mendapatkan keterangan bahwa DN.Aidit bersama beberapa orang pengawal bersenjata sedang bersembunyi di daerah Klaten dan bersiap melarikan diri menuju ke daerah Merapi Merbabu. Hal ini disampaikan kepada saya dan Beliau menambahkan bahwa salah satu batalyon nya akan mengepung daerah itu untuk kemudian menangkap DN Aidit hidup-hidup.
Tetapi saya memperoleh informasi dari Perwira Seksi Intelijen Brigade, Mayor SM bahwa DN Aidit sudah tidak berada di tempat persembunyiannya di Klaten tetapi telah berpindah tempat sembunyi di dalam kota Surakarta, di sebelah selatan stasiun Purwosari. Keterangan yang diberikan oleh seksi satu itu benar. Saya kemudian mendapat keterangan dari kolonel Sarwo Edhie bahwa operasinya di sekitar Klaten untuk menangkap DN Aidit tidak membawa hasil karena telah meninggalkan tempat persembunyiannya.
Hal ini menjadi masalah bagi kami, bagaimana dapat menangkap ketua PKI itu seolah menangkap ikan tanpa mengeruhkan airnya. Terlintas di benak saya bahwa DN Aidit pasti membawa beberapa orang pengawal yang bersenjata yang setia. Salah seorang dari pengawal-pengawal buronan itu, saya dengar telah menyeberang ke pihak kita walaupun masih mempunyai hubungan yang baik dan erat dengan DN.Aidit yang secara formal masih menjabat koordinator wakil ketua MPRS. Langkah pertama yang harus saya lakukan adalah membujuk sang pengawal yang katanya telah menyeberang ke pihak kita itu.
Pengawal DN Aidit.
Dengan perantaraan seorang teman karib saya, yang kepada siapa saya amat berterima kasih, pengawal DN Aidit itu dapat dipertemukan dengan saya di markas Brigade. Orang itu bernama SH. SH ini dikenal baik oleh teman saya W, yang telah mempertemukan kami berdua di Surakarta itu.
Maka setelah itu pertemuan pengawal menko wakil ketua MPRS dengan saya berlangsung berulang kali di tempat yang dirahasiakan. Pertemuan-pertemuan itu selalu dilakukan pada malam hari dan keadaan kota Surakarta sunyi senyap demi keselamatan SH itu sendiri.
Saya pertama-tama bertanya kepada SH antara betul ia pengawal pribadi menko wakil ketua MPRS itu? juga saya tanyakan bagaimana mungkin sehingga ia menjadi pengawal gembong komunis itu. SH kemudian memperlihatkan secarik kertas buat coret-coret tulisan tangan yang menyatakan bahwa desa memang ditugaskan untuk pekerjaan itu secara khusus surat itu ditandatangani oleh pak Nas. (Jend.AH.Nasution).
Meskipun demikian saya belum sepenuhnya yakin dan karena itu akan saya buktikan sejauh mana SH terlibat dalam masalah Aidit dan seberapa jauh SH benar setia kepada politik kita.
Saya lalu mengajukan usul kepada SH agar DN Aidit segera ditangkap saja sebab nanti bisa lari lagi. SH agak terperanjat mendengar usul saya itu dan menasehatkan agar tidak segera diadakan penangkapan dahulu sebab itu akan menimbulkan kecurigaan kepada Aidit. Jawaban itu aneh sekali namun saya belum habis kesabaran dan juga belum habis kepercayaan saya kepada SH itu. Dalam pada itu kontak SH dengan pihak kami selalu berlangsung dan dilaporkan selalu tentang keadaan DN Aidit itu.
Selang beberapa hari, SH datang menemui saya dan mengabarkan bahwa DN Aidit itu minta pindah tempat, ia minta pindah di belakang markas batalyon K di Kleco.
Aneh pikir saya, tetapi kemudian saya bisa mengerti, sebab konon batalyon ini mempunyai simpati kepada G30S. Oleh sebab itu mungkin gembong komunis tadi akan merasa ada yang melindungi.
Saya tanyakan kepada SH, berapa lama DN Aidit akan bersembunyi di belakang markas Yon K. kata SH kurang lebih 1 minggu. Tetapi pada malam berikutnya ia melapor kepada saya bahwa DN Aidit minta pindah tempat lagi kali ini di belakang Stasiun Balapan. Maksudnya ia akan ikut kereta api dari timur yang akan menuju ke Jakarta selekasnya jika ada kesempatan untuk itu.
Usul ini menjadi gawat bagi kami. Saya bahkan khawatir kalau-kalau SH mengatakan kepada DN Aidit tentang rencana kita semua untuk menangkapnya. Tetapi sebaliknya SH juga kuatir kalau akhirnya DN Aidit mengetahui bahwa ia telah mengadakan kontak dengan kami.
Saya akan menguji sekali lagi kesetiaan SH kepada kami sampai di mana benarnya kata-kata SH itu. berkatalah SH kepada saya pada malam hari kira-kira pukul 20.00 bahwa kepindahan DN Aidit dari belakang markas Yon K di sambeng di belakang Stasiun Balapan direncanakan esok harinya jam 11 siang kata SH.
"Nanti bapak lihat saya naik sekuter pakai topi dan akan saya blesekkan ke bawah, sehingga tertutup mata saya dua-duanya, Aidit akan saya boncengkan di belakang."
Esok harinya sesuai janji SH tadi, saya berpakaian preman berdiri di tepi jalan Purwosari di bawah sebuah pohon rindang menantikan lewatnya SH yang katanya akan memboncengkan DN Aidit.
Memang betul, belum lama saya berdiri di situ saya melihat seorang pengendara skuter dengan topi yang diplesetkan ke bawah menutupi kedua matanya. Di belakang diboncengkan seorang yang berpakaian tersamar. Memang sukar untuk mengenali bahwa ia adalah DN Aidit. Saya lalu perhatikan skuter itu yang kemudian membelok ke utara agaknya ke Sambeng.
Kemudian saya kumpulkan para prajurit dan saya adakan apel umum di tepi jalan. Saya umumkan kepada mereka bahwa mereka diberikan cuti selama satu minggu, karena situasi sudah aman. Sebenarnya hal itu adalah sekedar muslihat untuk menimbulkan perkiraan bahwa memang di Surakarta tidak akan ada apa-apa. Namun hal itu sudah jelas bagi para prajurit, sandi apa yang telah saya sampaikan kepada mereka itu, bahwa mereka harus siap siaga sewaktu-waktu.
Pada malam harinya, setelah mengantar Aidit ke Sambeng, SH datang melapor kepada kami tentang lokasi pemondokan sementara dari menko wakil ketua MPRS itu.
Saya berpendapat bahwa saat menangkap gembong komunis itu telah tiba, karena jika tidak segera kita lakukan, mungkin ia bisa lolos naik kereta api malam ke Jakarta sesuai rencana semula.
Saya rencanakan penangkapan itu dan berkata kepada SH agar dia menyingkir tidak bergabung dengan DN.Aidit. SH menolak saran saya ini dan berkata
"Ah pak, nanti Aidit curiga kalau malam hari ini dan malam selanjutnya, saya tidak bergabung kepadanya biarlah saya tetap mendampingi orang itu."
Saya tidak keberatan atas usul SH itu, tetapi saya peringatkan kepadanya, bahwa resiko dia benjut karena dipukul atau digetok oleh para petugas penangkap harus ditanggung, kalau kalau pengawal Adit itu melawan. rupanya setelah berpikir sejenak, SH bersedia menanggung resiko itu dan kembalilah malam itu SH ke kandang persembunyian sang MENKO.
Sehari sebelum penangkapan Aidit itu dilaksanakan, saya masih memerintahkan kepada seksi intelijen untuk mengamati dengan seksama lokasi persembunyian Aidit di Sambeng, agar penangkapan itu bisa berjalan dengan cermat.
Pengepungan Pasukan Tidak Dikenal
Tetapi pada malam hari kami dikejutkan oleh sebuah informasi dari seksi 1 kita, bahwa ada satu pasukan dari kesatuan yang tidak jelas berasal dari Yogyakarta sebanyak 1 peleton menuju ke daerah tempat Aidit bersembunyi. Yang jadi pertanyaan adalah, pasukan itu akan menangkap Aidit atau akan membebaskan Aidit
Kampung tempat Aidit bersembunyi di situ dikepung oleh pasukan yang tidak kami kenal. Penduduk kampung Sambeng dicekam ketakutan dan was-was. Juga saya menjadi agak kuatir kalau rencana yang telah disusun rapi itu akan menjadi buyar karena ulah pasukan yang tidak dikenal itu.
Pasukan tidak dikenal yang konon berasal dari Yogyakarta itu kemudian meninggalkan sambeng ke tempat semula yang tidak kita ketahui. Saya kemudian merasa lega tatkala ada keterangan bahwa Aidit masih di tempat persembunyiannya. Informasi lain bahwa pasukan yang tidak dikenal itu bermaksud menyelamatkan Aidit dan akan mengantarkannya kepada Bung Karno di Jakarta. Sepanjang informasi yang saya peroleh, Aidit telah dua kali dihubungi utusan pribadi Presiden Soekarno selama di dalam pelarian.
Mungkin karena kurang koordinasi antara para pembebas DN Aidit dengan sang MENKO maka tidaklah terjadi komunikasi, sehingga gembong komunis itu tetap masih tetap tinggal di tempat perlindungannya di kampung Sambeng.
Sebelum itu Kolonel Sarwo Edhie Wibowo mengatakan kepada saya bahwa akan ada lagi usaha meloloskan diri dari kepungan kita, dan membawanya ke pantai Purworejo karena disana ada kapal selam yang sedang menantikannya dan kemudian berlayar ke negeri Cina.
Informasi kolonel Sarwo Edhie itu mungkin saja benar, namun masih tetap menimbulkan tanda tanya dalam diri saya, namun informasi demi informasi yang masuk makin mempercepat kehendak kami untuk lekas menangkap sang Menko itu.
DN Aidit Bersembunyi di lemari
Sesuai rencana, rumah persembunyian Aidit itu kita kepung rapat. saya perintahkan perwira seksi 1 untuk bersama beberapa petugas lain memasuki rumah itu. Jika Jeep yang saya tumpangi sudah masuk di halaman, mesin akan saya bunyikan sekerasnya, seraya lampu saya nyalakan seterang benderangnya. Perlunya agar supaya orang-orang yang berada di dalam rumah itu menjadi terkejut dan terpukau, dan pada pada saat itulah, pintu rumah harus didobrak.
Nampaknya Letnan NP sebagai pelaksana penangkapan beserta 2 kopral, tidak bersabar lagi begitu mesin Jeep saya hidupkan, dia sudah menabrak pintu rumah persembunyiannya lalu berteriak keras:
"Angkat tangan!!"
Dia dapatkan 2 orang pengawal Aidit sedang lelap tidur, dengan senjata mereka di antara sebuah senapan karabin, terletak di samping yang segera diambil oleh para petugas. pengawal-pengawal itu termasuk SH dengan mudah dapat diikat tangan mereka oleh para petugas kita.
Tetapi Aidit tidak kelihatan pada waktu itu. Kelihatan sekali rasa kecewa di wajah para petugas itu. Tetapi Letnan NP lalu berteriak "Lihat kolong". semua kolong disoroti tidak ada Aidit. Tinggal satu lemari dan ketika lemari itu kemudian disoroti, lalu terlihatlah sepasang kaki yang disoroti.
"Lekas keluar dan angkat tangan, ayo lekas"
Bentak letnan NP, maka keluarlah sang MENKO Aidit itu seraya membentak balik
"mau apa kamu! aku ini MENKO tau ! "
Letnan NP agak terperanjat dengan kata itu dan sikap memberi hormat dengan sikap sempurna:
"kami hanya menjalankan tugas pak."
"Siapa yang menugaskan kamu? kau tahu, aku ini menteri dan harus segera ikut sidang kabinet dengan paduka yang mulia presiden di Jakarta?"
Letnan NP masih tegak berdiri bagaikan sebuah tugu, percakapan ini diakhiri dengan mempersilahkan sang MENKO mengikuti masuk ke kendaraan yang masih terparkir di luar. Rombongan sang menko kami bawa ke Loji Gandrung di Surakarta.
Loji Gandrung adalah sebuah bangunan zaman kolonial bercorak bercorak renaissance dengan interior rococo, bekas milik seorang berkebangsaan Belanda yang konon mempunyai hubungan erat dengan para bangsawan Surakarta sebelum perang. Gedung ini digunakan sebagai kediaman dinas para wali kota Surakarta.
Di waktu itu walikota Utoyo Ramelan, karena berpihak kepada G30S menyerahkan diri kepada pihak yang berwajib untuk kemudian ditahan. Di dalam gedung inilah saya mempersilahkan yang mulia MENKO Wakil Ketua MPRS untuk menulis pengakuannya selama beroperasi di daerah Surakarta.
DN Aidit menjalani proses verbal
Para tawanan anggota-anggota pengawal DN Aidit sudah ditempatkan di ruang yang pantas bagi mereka, saya kemudian minta dengan segala hormat agar sang Menko Sudi duduk tenang dan santai menulis pengalamannya selama ini. .
Agaknya Aidit sudah maklum bahwa situasi saat ini tidak akan membantu protes protesnya seperti tatkala ia masih berada di Sambeng beberapa saat berselang.
"Saya minta kopi panas biar tenang pikiran saya"
"Baik pak"
dan kopi panas pun segera disajikan kepadanya
Satu jam lamanya Aidit hanya merokok saja, berbatang-batang sigaret yang telah kita sediakan untuknya telah dihabiskan. Malah dia minta kopi satu cawan lagi. Tetapi kemudian setelah itu hanya berkepul asap dari mulutnya dan sang Menko itu hanya melihat plafon saja tanpa menuliskan sepatah kata pun di atas kertas. Pulpen yang saya berikan hanya dibuka dan ditutup tanpa menggunakan sehurufpun Aidit tidak juga menulis.
Macam-macam pikiran timbul pada benak saya apakah ini akan mengalihkan perhatian kita, ataukah di luar ruangan ini ada pada penyelamatnya yang akan membebaskan dirinya dari cara pengamanan kami ini.
Setelah satu jam lebih Aidit tidak juga berkutik kutik untuk menulis, saya dekati sang MENKO itu.
"pak, untuk memudahkan bapak, biarlah bapak yang berucap, kami yang menulis"
"Baik"
Aidit setuju, maka salah seorang petugas kami Mayor SL lalu menuliskan pengalaman sang MENKO itu di Jawa tengah, dan sebelumnya, dan maksudnya kemudian. bersamaan dengan itu letnan G telah memotretnya berkali-kali.
Di antara kalimat-kalimat pengakuan Aidit itu terbaca:
"Saya adalah satu-satunya yang memikul tanggung jawab paling besar dalam peristiwa G30S yang gagal, dan yang didukung oleh anggota-anggota PKI yang lain, dan organisasi-organisasi massa di bawah pimpinan PKI. Sebagaimana diketahui saya mengerjakan rencana untuk menghimpun kekuatan komunis di Jawa tengah. Saya menyelidiki berbagai daerah di sekitar solo, dan memberi pimpinan sampai tanggal 21 Oktober 1965. Pencetusan di solo telah diputuskan sebagai titik pusat di Jawa tengah ditetapkan waktu tanggalnya 23 Oktober 1965. Perintah dikirim pada PKI (sel-selnya) untuk menebangi pohon-pohon sepanjang jalan yang menuju ke Surakarta, membentuk barikade, mengadakan pemogokan umum, serta menangkapi pemimpin golongan kanan".
Aidit lalu membubuhkan tanda tangannya
Setelah itu semua, sang MENKO saya persilahkan naik ke jeep. Kali ini saya duduk di belakang, saya telah berpesan kepada para perwira pengawal, agar siap menembak kalau kalau nanti Aidit meloncat hendak melarikan diri sewaktu kendaraan berjalan.
Sudah beres
Pada waktu kami selesai menuliskan pengakuan Aidit itu datang seorang perwira cpm bernama MS. Dengan caranya yang bersahabat sekali ia minta film yang kami buat memotret menko itu ujarnya "biarlah CPM ini saja yang mengurusi film itu kelak akan saya kembalikan setelah dicuci dan dicetak"
Cetakan film itu dikembalikan beberapa waktu kemudian. Proses verbal saya serahkan kemudian ke Mayjen Suryo Sumpeno, dua minggu kemudian Mayjen Suryo Sumpeno selaku Pangdam VII/ Diponegoro memerintahkan membakar semua foto-foto Aidit dan proses verbal itu hingga musnah.
Beberapa waktu berselang, saya mendapatkan teguran dari utusan BAKIN karena keterangan Aidit dan gambar-gambarnya sewaktu ia tertangkap di Surakarta itu, termuat di sebuah surat kabar di Jepang. Agaknya MS tadi mengirimnya dan entah dengan jalan bagaimana, sehingga semuanya tadi bisa tersiar di Tokyo.
Begitulah soal proses verbal terpaksa saya membuat ulangan tanpa tanda tangan Aidit. Saat Aidit kami muat di dalam jeep, juga perwira cpm ini bertanya hendak dibawa kemana sang Menko itu. Katanya sebaiknya ia saja yang melaporkan kepada panglima Kodam 7 Diponegoro di Semarang. Maka saya katakan kepadanya bahwa itupun akan saya lakukan sendiri.
"saya ikut ke Semarang" kata MS
Saya tidak mencegahnya dan saya minta kepadanya supaya kendaraan yang ditumpangi olehnya berjalan di depan.
DN Aidit ditembak mati
Saya masih ingat peristiwa itu tanggal 22 Desember 1965. Nampaknya MS tidak begitu menghiraukan kendaraan yang kami tumpangi bersama sang Menko Wakil Ketua MPRS itu.
ketika rombongan kami memasuki kota Boyolali, saya memerintahkan kepada kopral pengemudi itu untuk membelokkan jeep ke jalan lain menuju suatu tempat di dalam kota, sampai di tempat yang kami tuju jeep dihentikan, dan saya persilahkan sang Menko untuk turun.
Aidit terkejut,
"Mau dikemanakan saya ini ?'
jawab saya:
" Saya antar bapak menyusul Pak Yani"
Aidit kelihatan gugup, paras mukanya berubah kecut.
Dalam pada itu, saya perintahkan agar operator radio mencoba menghubungi menghubungi MAKOSTRAD di Jakarta. entah mengapa gelombang radio kami tidak bisa tersambung dengan markas itu. Bintara yang melayani radio itu mencoba lagi namun tetap sia-sia, Jakarta tidak dapat di kontak. Maksud saya akan mau melapor kepada Panglima Kostrad apa yang harus saya perbuat dengan tawanan sang Menko yang menjadi benggolan pemberontakan ini.
Untuk waktu sekejap pendirian saya agak goyah, apakah tidak akan saya lanjutkan minat saya ini atau saya lanjutkan maksud saya mengantarkan gembong komunis pemberontak ini ke neraka.
Akhirnya saya berketetapan bahwa itu harus saya laksanakan, apakah resiko yang harus saya tanggung. saya perintahkan pada Mayor ST untuk mencari sumur yang sudah lama tidak berair. Perigi itu memang sudah diketahui anak buah saya beberapa waktu sebelum peristiwa penangkapan gembong pemberontak komunis itu.
Sampai di depan perigi di tengah-tengah kebun pisang yang lebat itu, sekali lagi Aidit menggertak:
"Tahu kamu apa artinya membawa seorang Menko, seorang wakil ketua MPRS kemari. apa ini sumur? untuk apa?
Jawab saya santai:
"Saya ngerti pak dan kalau bapak mau sumur ini buat apa, ini untuk bapak ....Bapak tau bukan, kalau pak Yani juga dimasukkan ke sumur seperti ini?"
"Jangan tergesa-gesa saya mau pidato dulu" usul Aidit
"Silakan" jawab saya singkat maka berpidato lah gembong komunis pemberontak itu selama 10 menit di hadapan kami berempat dalam keadaan gelap malam.
Tidak saya perhatikan lagi apa yang diucapkannya, ia menutup pidatonya yang berapi-api dengan hidup PKI 3 kali, dan bersamaan dengan berakhirnya ucapan Aidit itu meluncurlah beberapa peluru dari Laras senjata owen, yang telah lama menjadi teman seperjuangan saya semenjak perang kemerdekaan juga tak kalah melawan pemberontakan PKI Muso tahun 1948, tamatlah anaknya PKI Muso tahun 1948 itu.
Oleh tembakan-tembakan itu para prajurit lain yang tidak jaga terbangun, dan berlarian ke kebun pisang itu. Saya perintahkan mereka menebang pohon pohon pisang kebun itu, dan menimbunkannya ke dalam sumur itu yang berisikan almarhum Aidit tadi.
Para prajurit bertanya kepada kami apa yang terjadi pada malam hari menjelang pagi itu, saya jawab bahwa yang tertembak tadi adalah mata-mata musuh yang membantu pemberontakan komunis.
Lalu bagaimana?
fajar tanggal 23 November 1965 menyingsing. Para perwira staf saya NB, ST, SM dan 2 kopral pengemudi melihat adanya sesuatu yang bergejolak di dalam batin saya. Lalu saya bertanya-tanya dalam hati, apakah yang dimaksud dengan bereskan ini seperti yang diperintahkan panglima Kostrad sebelum saya berangkat ke Jawa Tengah ini?
Sekali lagi saya mencoba menghubungi MAKOSTRAD tetapi juga kali ini sulit diperoleh hubungan. Maka saya berketetapan untuk segera melapor kepada PANGDAM VII/ Diponegoro di Semarang waktu itu Brigadir Jenderal TNI Suryo Sumpeno.
Di kala saya sedang diliputi gundah gulana itu muncul lagi Perwira CPM, MS,
"
Mana dia?" tanya MS singkat
"
Sudah beres" jawab saya setengah acuh
"Wah ini bisa ramai nanti jadinya" kata MS.
"Apanya yang ramai lha wong sudah beres, ini kan jaman perang, Almarhum kan musuh kita".
Mana mayatnya ? tanya si M.S. sekali lagi.
"Sudah beres", jawab saya lagi.
Seharian saya tidak mungkin memejamkan mata, dan berpikir keras apa yang mesti saya perbuat
kemudian dan apakah yang saya lakukan itu sudah betul? Apa akan dibenarkan oleh atasan saya ? Ah, saya akan tanggung segala-galanya. Untuk menghilangkan jejak, saya perintahkan prajurit
prajurit menumpuk kayu kering di atas lobang sumur yang sudah dipadati tanah dan tebangan pohon pisang itu. Kayu-kayu kering itu kemudian saya perintahkan membakarnya. Beberapa hari kemudian saya persilahkan MS ke tempat itu, dan untuk melihat serakan kayu bakar dan abu yang bertumpuk.
"Nah, iní lihat, ia sudah beres, sudah jadi abu'"
Dengan demikian barang kali niyatan Simpatisan PKI M.S untuk menggali mayat pemberontak itu telah pudar, setelah mengira gembong Pemberontak PKI itu sudah terkremasi. Tetapi M.S. tidak habis-habisnya menakut-nakuti akan akibat dari perbuatan saya itu.
"
Ini bisa panjang ekornya", kata Kapten C.P.M. MS itu.
"Biar itu akan saya hadapi. Sekarang saya akan lapor kepada PANGLIMA di Semarang".
"
Saya sajalah yang lapor", Usul M.S lagi
"Ayo sama-sama saja kita laporan". Kata saya
Memang dialog ini sangat menjemukan, sewaktu saya sedang dirundung berbagai perasaan. Sesampainya di Semarang saya segera mencari Panglima, akan tetapi semua perwira staf tidak di tempat, kecuali KOLONEL WIDODO Asisten IV/LOGISTIK KAS KODAM VII yang ada di rumah. Memang parah keadaan Kodam VII pada waktu itu. Asisten 1/INTEL, ASISTEN V/TEERITORIAL dan masih beberapa perwira Staf lagi terlibat langsung di dalam pergolakan ini. Saya melaporkan kejadian itu kepada Kolonel Widodo, dan mohon dapat diteruskan laporan kepada PANGKOSTRAD.
Permohonan saya ini segera dipenuhi. Sekembalinya saya di Brigade, saya mendapat surat Telegram yang menyatakan agar saya menghadap PANGKOSTRAD di gedung Agung di Yogyakarta esok pagi tanggal 24 Nopember pukul 15.00
Menghadap PANGKOSTRAD
Malam harinya saya juga tidak dapat memejamkan mata, karena berbagai macam pertanyaan timbul di di benak saya. Apalagi setelah ada dua orang utusan dari Istana Jakarta yang mencari AIDIT,
berpegang kepada perintah PANGKOSTRAD waktu saya diperintahkan ke Jawa Tengah untuk membereskan anak-anak PKI Madiun yang memberontak tahun 1948 itu, 17 tahun yang lalu.
Sore harinya saya menghadap PANG KOSTRAD di Gedung Agung di Yogyakarta Selesai menghormat saya melapor tentang peristiwa beresnya AIDIT itu, dan kemudian memberanikan diri bertanya.
"Bapak maksudkan dengan bereskan itu yang seperti sekarang ini Pak ?"
PANG KOSTRAD hanya tersenyum penuh arti. Meskipun demikian hati saya lega sekali, bahwa atasan saya memaklumi tindakan saya itu. Saya bertanya lagi kepada PANG KOSTRAD
"Apakah Presiden Sukarno tidak akan mengambil tindakan Pak ?".
Jawab Pak Harto :
"Tindakan tentu akan diambil, karena ia masih dianggap menteri koordinator. Tetapi sudah kita perhitungkan".
Memang setelah saya bertemu PANG KOSTRAD di Yogyakarta masih ada dua utusan lagi yang
sedang mencari kabar tentang AIDIT. Tetapi situasi tanah air sesudah itu berubah begitu cepatnya, sehingga kisah tentang DN. AIDIT - SANG MENKO WAKIL KETUA MPRS, Ketua PKI yang menjadi hulu balang pemberontakan itu, tertimpa oleh kabar-kabar lain, yang lebih meminta perhatian kita.
Kesatuan-kesatuan AKSI di Jakarta dan juga di daerah-daerah minta dan menuntut pembubaran PKI. Bahkan di Jawa Tengah PANGLIMA KODAM VII DIPONEGORO telah membekukan PKI dan organisasi organisasi masanya, sejak 20 Oktober 1965.
Lahirlah kemudian di dalam sejarah kita Surat Perintah 11 Maret 1966 esok harinya tanggal
12 Maret 1966 PKI resmi dibubarkan oleh Orde Baru.
Dalam pada itu muncul berbagai kisah di dalam berbagai penerbitan tentang Almarhum AIDIT ini yang berkisar dari dongeng dan cerita kira-kira. Memang selama itu sengaja saya diamkan, karena saya anggap belum waktunya diumumkan duduk persoalan yang sebenarnya. Tetapi kejadian sejarah kiranya perlu juga menjadi lurus, agar kelak tidak menjadi sesat.
Sudah beres
Pada waktu kami selesai menuliskan pengakuan Aidit itu datang seorang perwira cpm bernama MS. Dengan caranya yang bersahabat sekali ia minta film yang kami buat memotret menko itu ujarnya "biarlah CPM ini saja yang mengurusi film itu kelak akan saya kembalikan setelah dicuci dan dicetak"
Cetakan film itu dikembalikan beberapa waktu kemudian. Proses verbal saya serahkan kemudian ke Mayjen Suryo Sumpeno, dua minggu kemudian Mayjen Suryo Sumpeno selaku Pangdam VII/ Diponegoro memerintahkan membakar semua foto-foto Aidit dan proses verbal itu hingga musnah.
Beberapa waktu berselang, saya mendapatkan teguran dari utusan BAKIN karena keterangan Aidit dan gambar-gambarnya sewaktu ia tertangkap di Surakarta itu, termuat di sebuah surat kabar di Jepang. Agaknya MS tadi mengirimnya dan entah dengan jalan bagaimana, sehingga semuanya tadi bisa tersiar di Tokyo.
Begitulah soal proses verbal terpaksa saya membuat ulangan tanpa tanda tangan Aidit. Saat Aidit kami muat di dalam jeep, juga perwira cpm ini bertanya hendak dibawa kemana sang Menko itu. Katanya sebaiknya ia saja yang melaporkan kepada panglima Kodam 7 Diponegoro di Semarang. Maka saya katakan kepadanya bahwa itupun akan saya lakukan sendiri.
"saya ikut ke Semarang" kata MS
Saya tidak mencegahnya dan saya minta kepadanya supaya kendaraan yang ditumpangi olehnya berjalan di depan.
Saya masih ingat peristiwa itu tanggal 22 Desember 1965. Nampaknya MS tidak begitu menghiraukan kendaraan yang kami tumpangi bersama sang Menko Wakil Ketua MPRS itu.
ketika rombongan kami memasuki kota Boyolali, saya memerintahkan kepada kopral pengemudi itu untuk membelokkan jeep ke jalan lain menuju suatu tempat di dalam kota, sampai di tempat yang kami tuju jeep dihentikan, dan saya persilahkan sang Menko untuk turun.
Aidit terkejut, "Mau dikemanakan saya ini ?'
jawab saya: " Saya antar bapak menyusul Pak Yani"
Aidit kelihatan gugup, paras mukanya berubah kecut.
Dalam pada itu, saya perintahkan agar operator radio mencoba menghubungi menghubungi MAKOSTRAD di Jakarta. entah mengapa gelombang radio kami tidak bisa tersambung dengan markas itu. Bintara yang melayani radio itu mencoba lagi namun tetap sia-sia, Jakarta tidak dapat di kontak. Maksud saya akan mau melapor kepada Panglima Kostrad apa yang harus saya perbuat dengan tawanan sang Menko yang menjadi benggolan pemberontakan ini.
Untuk waktu sekejap pendirian saya agak goyah, apakah tidak akan saya lanjutkan minat saya ini atau saya lanjutkan maksud saya mengantarkan gembong komunis pemberontak ini ke neraka.
Akhirnya saya berketetapan bahwa itu harus saya laksanakan, apakah resiko yang harus saya tanggung. saya perintahkan pada Mayor ST untuk mencari sumur yang sudah lama tidak berair. Perigi itu memang sudah diketahui anak buah saya beberapa waktu sebelum peristiwa penangkapan gembong pemberontak komunis itu.
Sampai di depan perigi di tengah-tengah kebun pisang yang lebat itu, sekali lagi Aidit menggertak:
"Tahu kamu apa artinya membawa seorang Menko, seorang wakil ketua MPRS kemari. apa ini sumur? untuk apa?
Jawab saya santai: "saya ngerti pak dan kalau bapak mau sumur ini buat apa, ini untuk bapak ....Bapak tau bukan, kalau pak Yani juga dimasukkan ke sumur seperti ini?"
"Jangan tergesa-gesa saya mau pidato dulu" usul Aidit
"Silakan" jawab saya singkat maka berpidato lah gembong komunis pemberontak itu selama 10 menit di hadapan kami berempat dalam keadaan gelap malam.
Tidak saya perhatikan lagi apa yang diucapkannya, ia menutup pidatonya yang berapi-api dengan hidup PKI 3 kali, dan bersamaan dengan berakhirnya ucapan Aidit itu meluncurlah beberapa peluru dari Laras senjata owen, yang telah lama menjadi teman seperjuangan saya semenjak perang kemerdekaan juga tak kalah melawan pemberontakan PKI Muso tahun 1948, tamatlah anaknya PKI Muso tahun 1948 itu.
Oleh tembakan-tembakan itu para prajurit lain yang tidak jaga terbangun, dan berlarian ke kebun pisang itu. Saya perintahkan mereka menebang pohon pohon pisang kebun itu, dan menimbunkannya ke dalam sumur itu yang berisikan almarhum Aidit tadi.
Para prajurit bertanya kepada kami apa yang terjadi pada malam hari menjelang pagi itu, saya jawab bahwa yang tertembak tadi adalah mata-mata musuh yang membantu pemberontakan komunis.
Lalu bagaimana?
fajar tanggal 23 November 1965 menyingsing. Para perwira staf saya NB, ST, SM dan 2 kopral pengemudi melihat adanya sesuatu yang bergejolak di dalam batin saya. Lalu saya bertanya-tanya dalam hati, apakah yang dimaksud dengan bereskan ini seperti yang diperintahkan panglima Kostrad sebelum saya berangkat ke Jawa Tengah ini?
Sekali lagi saya mencoba menghubungi MAKOSTRAD tetapi juga kali ini sulit diperoleh hubungan. Maka saya berketetapan untuk segera melapor kepada PANGDAM VII/ Diponegoro di Semarang waktu itu Brigadir Jenderal TNI Suryo Sumpeno.
Di kala saya sedang diliputi gundah gulana itu muncul lagi Perwira CPM, MS,
"Mana dia?" tanya MS singkat
"Sudah beres" jawab saya setengah acuh
"Wah ini bisa ramai nanti jadinya" kata MS.
"Apanya yang ramai lha wong sudah beres, ini kan jaman perang, Almarhum kan musuh kita".
Mana mayatnya ? tanya si M.S. sekali lagi.
"Sudah beres", jawab saya lagi.
Seharian saya tidak mungkin memejamkan mata, dan berpikir keras apa yang mesti saya perbuat
kemudian dan apakah yang saya lakukan itu sudah betul? Apa akan dibenarkan oleh atasan saya ? Ah, saya akan tanggung segala-galanya. Untuk menghilangkan jejak, saya perintahkan prajurit
prajurit menumpuk kayu kering di atas lobang sumur yang sudah dipadati tanah dan tebangan pohon pisang itu. Kayu-kayu kering itu kemudian saya perintahkan membakarnya. Beberapa hari kemudian saya persilahkan MS ke tempat itu, dan untuk melihat serakan kayu bakar dan abu yang bertumpuk.
"Nah, iní lihat, ia sudah beres, sudah jadi abu'"
Dengan demikian barang kali niyatan Simpatisan PKI M.S untuk menggali mayat pemberontak itu telah pudar, setelah mengira gembong Pemberontak PKI itu sudah terkremasi. Tetapi M.S. tidak habis-habisnya menakut-nakuti akan akibat dari perbuatan saya itu.
"Ini bisa panjang ekornya", kata Kapten C.P.M. MS itu.
"Biar itu akan saya hadapi. Sekarang saya akan lapor kepada PANGLIMA di Semarang".
"Saya sajalah yang lapor", Usul M.S lagi
"Ayo sama-sama saja kita laporan". Kata saya
Memang dialog ini sangat menjemukan, sewaktu saya sedang dirundung berbagai perasaan. Sesampainya di Semarang saya segera mencari Panglima, akan tetapi semua perwira staf tidak di tempat, kecuali KOLONEL WIDODO Asisten IV/LOGISTIK KAS KODAM VII yang ada di rumah. Memang parah keadaan Kodam VII pada waktu itu. Asisten 1/INTEL, ASISTEN V/TEERITORIAL dan masih beberapa perwira Staf lagi terlibat langsung di dalam pergolakan ini. Saya melaporkan kejadian itu kepada Kolonel Widodo, dan mohon dapat diteruskan laporan kepada PANGKOSTRAD.
Permohonan saya ini segera dipenuhi. Sekembalinya saya di Brigade, saya mendapat surat Telegram yang menyatakan agar saya menghadap PANGKOSTRAD di gedung Agung di Yogyakarta esok pagi tanggal 24 Nopember pukul 15.00
Kisah tentang tamatnya ketua PKI DN. Aidit, seperti yang diberitakan oleh Mayjen TNI Jasir Hadibroto kepada Drs. Suryo Soemarwoto, yang dimuat dalam surat kabar Kartika dapat kita ikuti di bawah ini:
Sesudah pecah usaha perebutan kekuasaan oleh PKI terhadap pemerintah republik Indonesia yang sah, kapal yang mengangkut pasukan Brigade Infanteri-4 Divisi Diponegoro membuang sauh di Teluk Jakarta.
Kami dilarang mendaratkan pasukan, oleh sebab itu saya, beserta beberapa orang perwira staf dengan menggunakan sekoci meninggalkan kapal itu. Pasukan yang saya pimpin itu pada waktu aksi Dwikora, ditempatkan di daerah Sumatera untuk melakukan operasi, apa yang pada waktu itu disebut sebagai aksi ganyang Malaysia.
Dari kabar-kabar yang saya himpun, saya mengetahui bahwa kaum komunis mengadakan Coup D'etat yang menamakan diri G30S, membentuk Dewan Revolusi, mendemosioner kabinet dan menuduh menuduh adanya Dewan Jenderal. Yang menjadikan saya sangat sakit hati adalah berita-berita tentang gugurnya para perwira tinggi kita diantaranya yang saya kenal baik yaitu Pak Yani. Lebih-lebih setelah saya dengar gugurnya para perwira tinggi kita itu karena dianiaya oleh orang-orang komunis yang tiada berperikemanusiaan.
Saya berbesar hati karena mengetahui bahwa yang memimpin operasi melawan orang-orang komunis itu adalah Mayor Jenderal Soeharto, yang dulu juga pernah menjadi atasan saya, di Divisi Diponegoro di Jawa Tengah, saya segera melapor kepadanya.
Pertanyaan Pak Harto pada waktu itu: Kolonel Jasir ada di mana pada waktu pemberontakan PKI pada tahun 1948?
Saya menjawab: "Waktu itu saya harus melawan 3 batalyon komunis di daerah Wonosobo Pak setelah Kompi saya dihijrahkan dari Jawa barat ke Banjarnegara."
Kata Pak Harto: "Nah, sekarang yang memberontak ini adalah anak-anaknya PKI Madiun zaman itu, sekarang bereskan itu semua, Aidit sekarang ada di Jawa Tengah, bawa pasukan pasukanmu kesana!
"Siap kerjakan !"
Dengan bekal perintah panglima Kostrad untuk membereskan anak-anaknya PKI tahun 1948 itu, saya bersama Brigade Infanteri 4 menuju ke Jawa Tengah, kembali ke induk divisi Diponegoro.
pasukan pasukan batalyon E, dan G yang tergabung dalam Brigif-4 ini ditempatkan di daerah daerah Boyolali dan Surakarta mulai 23 Oktober 1965, sedangkan Yonif F sudah ditempatkan di Klaten satu minggu terlebih dahulu.
Menjelang bulan November 1965 pada saat itu di daerah Klaten juga beroperasi satu batalyon RPKAD yang begitu Mahsyur. Komandan RPKAD, Kolonel Sarwo Edhi Wibowo pada saat itu mendapatkan keterangan bahwa DN.Aidit bersama beberapa orang pengawal bersenjata sedang bersembunyi di daerah Klaten dan bersiap melarikan diri menuju ke daerah Merapi Merbabu. Hal ini disampaikan kepada saya dan Beliau menambahkan bahwa salah satu batalyon nya akan mengepung daerah itu untuk kemudian menangkap DN Aidit hidup-hidup.
Tetapi saya memperoleh informasi dari Perwira Seksi Intelijen Brigade, Mayor SM bahwa DN Aidit sudah tidak berada di tempat persembunyiannya di Klaten tetapi telah berpindah tempat sembunyi di dalam kota Surakarta, di sebelah selatan stasiun Purwosari. Keterangan yang diberikan oleh seksi satu itu benar. Saya kemudian mendapat keterangan dari kolonel Sarwo Edhie bahwa operasinya di sekitar Klaten untuk menangkap dan Aidit tidak membawa hasil karena telah meninggalkan tempat persembunyiannya.
Hal ini menjadi masalah bagi kami, bagaimana dapat menangkap ketua PKI itu seolah menangkap ikan tanpa mengeruhkan airnya. Terlintas di benak saya bahwa DN Aidit pasti membawa beberapa orang pengawal yang bersenjata yang setia. Salah seorang dari pengawal-pengawal buronan itu, saya dengar telah menyeberang ke pihak kita walaupun masih mempunyai hubungan yang baik dan erat dengan DNA.Aidit yang secara formal masih menjabat koordinator wakil ketua MPRS. Langkah pertama yang harus saya lakukan adalah membujuk sang pengawal yang katanya telah menyeberang ke pihak kita itu.
Pengawal Aidit.
Dengan perantaraan seorang teman karib saya, yang kepada siapa saya amat berterima kasih, pengawal DN Aidit itu dapat dipertemukan dengan saya di markas Brigade. Orang itu bernama SH.
SH ini dikenal baik oleh teman saya W, yang telah mempertemukan kami berdua di Surakarta itu.
Maka setelah itu pertemuan pengawal menko wakil ketua MPRS dengan saya berlangsung berulang kali di tempat yang dirahasiakan. Pertemuan-pertemuan itu selalu dilakukan pada malam hari dan keadaan kota Surakarta sunyi senyap demi keselamatan SH itu sendiri.
Saya pertama-tama bertanya kepada SH antara betul ia pengawal pribadi menko wakil ketua MPRS itu? juga saya tanyakan bagaimana mungkin sehingga ia menjadi pengawal gembong komunis itu. SH kemudian memperlihatkan secarik kertas buat coret-coret tulisan tangan yang menyatakan bahwa desa memang ditugaskan untuk pekerjaan itu secara khusus surat itu ditandatangani oleh pak Nas. (Jend.AH.Nasution).
Meskipun demikian saya belum sepenuhnya yakin dan karena itu akan saya buktikan sejauh mana SH terlibat dalam masalah Aidit dan seberapa jauh SH benar setia kepada politik kita.
Saya lalu mengajukan usul kepada SH agar DN Aidit segera ditangkap saja sebab nanti bisa lari lagi. SH agak terperanjat mendengar usul saya itu dan menasehatkan agar tidak segera diadakan penangkapan dahulu sebab itu akan menimbulkan kecurigaan kepada Aidit. Jawaban itu aneh sekali namun saya belum habis kesabaran dan juga belum habis kepercayaan saya kepada SH itu. Dalam pada itu kontak SH dengan pihak kami selalu berlangsung dan dilaporkan selalu tentang keadaan DN Aidit itu.
Selang beberapa hari, SH datang menemui saya dan mengabarkan bahwa DN Aidit itu minta pindah tempat, ia minta pindah di belakang markas batalyon K di Kleco.
Aneh pikir saya, tetapi kemudian saya bisa mengerti, sebab konon batalyon ini mempunyai simpati kepada G30S. Oleh sebab itu mungkin gembong komunis tadi akan merasa ada yang melindungi.
Saya tanyakan kepada SH, berapa lama DN Aidit akan bersembunyi di belakang markas Yon K. kata SH kurang lebih 1 minggu. Tetapi pada malam berikutnya ia melapor kepada saya bahwa DN Aidit minta pindah tempat lagi kali ini di belakang Stasiun Balapan. Maksudnya ia akan ikut kereta api dari timur yang akan menuju ke Jakarta selekasnya jika ada kesempatan untuk itu.
Usul ini menjadi gawat bagi kami. Saya bahkan khawatir kalau-kalau SH mengatakan kepada DN Aidit tentang rencana kita semua untuk menangkapnya. Tetapi sebaliknya SH juga kuatir kalau akhirnya DN Aidit mengetahui bahwa ia telah mengadakan kontak dengan kami.
Saya akan menguji sekali lagi kesetiaan SH kepada kami sampai di mana benarnya kata-kata SH itu. berkatalah SH kepada saya pada malam hari kira-kira pukul 20.00 bahwa kepindahan DN Aidit dari belakang markas Yon K di sambeng di belakang Stasiun Balapan direncanakan esok harinya jam 11 siang kata SH.
"Nanti bapak lihat saya naik sekuter pakai topi dan akan saya blesekkan ke bawah, sehingga tertutup mata saya dua-duanya, Aidit akan saya boncengkan di belakang."
Esok harinya sesuai janji SH tadi, saya berpakaian preman berdiri di tepi jalan Purwosari di bawah sebuah pohon rindang menantikan lewatnya SH yang katanya akan memboncengkan DN Aidit.
Memang betul, belum lama saya berdiri di situ saya melihat seorang pengendara skuter dengan topi yang diplesetkan ke bawah menutupi kedua matanya. Di belakang diboncengkan seorang yang berpakaian tersamar. Memang sukar untuk mengenali bahwa ia adalah DN Aidit. Saya lalu perhatikan skuter itu yang kemudian membelok ke utara agaknya ke Sambeng.
Kemudian saya kumpulkan para prajurit dan saya adakan apel umum di tepi jalan. Saya umumkan kepada mereka bahwa mereka diberikan cuti selama satu minggu, karena situasi sudah aman. Sebenarnya hal itu adalah sekedar muslihat untuk menimbulkan perkiraan bahwa memang di Surakarta tidak akan ada apa-apa. Namun hal itu sudah jelas bagi para prajurit, sandi apa yang telah saya sampaikan kepada mereka itu, bahwa mereka harus siap siaga sewaktu-waktu.
Pada malam harinya, setelah mengantar Aidit ke Sambeng, SH datang melapor kepada kami tentang lokasi pemondokan sementara dari menko wakil ketua MPRS itu.
Saya berpendapat bahwa saat menangkap gembong komunis itu telah tiba, karena jika tidak segera kita lakukan, mungkin ia bisa lolos naik kereta api malam ke Jakarta sesuai rencana semula.
Saya rencanakan penangkapan itu dan berkata kepada SH agar dia menyingkir tidak bergabung dengan DN.Aidit. SH menolak saran saya ini dan berkata
"ah pak, nanti Aidit curiga kalau malam hari ini dan malam selanjutnya, saya tidak bergabung kepadanya biarlah saya tetap mendampingi orang itu."
Saya tidak keberatan atas usul SH itu, tetapi saya peringatkan kepadanya, bahwa resiko dia benjut karena dipukul atau digetok oleh para petugas penangkap harus ditanggung, kalau kalau pengawal Adit itu melawan. rupanya setelah berpikir sejenak, SH bersedia menanggung resiko itu dan kembalilah malam itu SH ke kandang persembunyian sang MENKO.
Sehari sebelum penangkapan Aidit itu dilaksanakan, saya masih memerintahkan kepada seksi intelijen untuk mengamati dengan seksama lokasi persembunyian Aidit di Sambeng, agar penangkapan itu bisa berjalan dengan cermat.
Tetapi pada malam hari kami dikejutkan oleh sebuah informasi dari seksi 1 kita, bahwa ada satu pasukan dari kesatuan yang tidak jelas berasal dari Yogyakarta sebanyak 1 peleton menuju ke daerah tempat Aidit bersembunyi. Yang jadi pertanyaan adalah, pasukan itu akan menangkap Aidit atau akan membebaskan Aidit
Kampung tempat Aidit bersembunyi di situ dikepung oleh pasukan yang tidak kami kenal. Penduduk kampung Sambeng dicekam ketakutan dan was-was. Juga saya menjadi agak kuatir kalau rencana yang telah disusun rapi itu akan menjadi buyar karena ulah pasukan yang tidak dikenal itu.
Pasukan tidak dikenal yang konon berasal dari Yogyakarta itu kemudian meninggalkan sambeng ke tempat semula yang tidak kita ketahui. Saya kemudian merasa lega ntar kalau ada keterangan bahwa Aidit masih di tempat persembunyiannya. Informasi lain bahwa pasukan yang tidak dikenal itu bermaksud menyelamatkan Aidit dan akan mengantarkannya kepada Bung Karno di Jakarta. Sepanjang informasi yang saya peroleh, Aidit telah dua kali dihubungi utusan pribadi Presiden Soekarno selama di dalam pelarian.
Mungkin karena kurang koordinasi antara para pembebas DN Aidit dengan sang MENKO maka tidaklah terjadi komunikasi, sehingga gembong komunis itu tetap masih tetap tinggal di tempat perlindungannya di kampung Sambeng.
Sebelum itu Kolonel Sarwo Edhie Wibowo mengatakan kepada saya bahwa akan ada lagi usaha meloloskan diri dari kepungan kita, dan membawanya ke pantai Purworejo karena disana ada kapal selam yang sedang menantikannya dan kemudian berlayar ke negeri Cina.
Informasi kolonel Sarwo Edhie itu mungkin saja benar, namun masih tetap menimbulkan tanda tanya dalam diri saya, namun informasi demi informasi yang masuk makin mempercepat kehendak kami untuk lekas menangkap sang menko itu.
Sembunyi di lemari
Sesuai rencana, rumah persembunyian Aidit itu kita kepung rapat. saya perintahkan perwira seksi 1 untuk bersama beberapa petugas lain memasuki rumah itu. Jika Jeep yang saya tumpangi sudah masuk di halaman, mesin akan saya bunyikan sekerasnya, seraya lampu saya nyalakan seterang benderangnya. Perlunya agar supaya orang-orang yang berada di dalam rumah itu menjadi terkejut dan terpukau, dan pada pada saat itulah, pintu rumah harus didobrak.
Nampaknya Letnan NP sebagai pelaksana penangkapan beserta 2 kopral, tidak bersabar lagi begitu mesin Jeep saya hidupkan, dia sudah menabrak pintu rumah persembunyiannya lalu berteriak keras: "Angkat tangan!!"
Dia dapatkan 2 orang pengawal Aidit sedang lelap tidur, dengan senjata mereka di antara sebuah senapan karabin, terletak di samping yang segera diambil oleh para petugas. pengawal-pengawal itu termasuk SH dengan mudah dapat diikat tangan mereka oleh para petugas kita.
Tetapi Aidit tidak kelihatan pada waktu itu. Kelihatan sekali rasa kecewa di wajah para petugas itu. Tetapi Letnan MP lalu berteriak "Lihat kolong". semua kolong disoroti tidak ada Aidit. Tinggal satu lemari dan ketika lemari itu kemudian disoroti, lalu terlihatlah sepasang kaki yang disoroti.
"Lekas keluar dan angkat tangan, ayo lekas"
Bentak letnan NP, maka keluarlah sang MENKO Aidit itu seraya membentak balik
"mau apa kamu! aku ini MENKO tau ! "
Letnan NP agak terperanjat dengan kata itu dan sikap memberi hormat dengan sikap sempurna:
"kami hanya menjalankan tugas pak."
"Siapa yang menugaskan kamu? kau tahu, aku ini menteri dan harus segera ikut sidang kabinet dengan paduka yang mulia presiden di Jakarta?"
Letnan NP masih tegak berdiri bagaikan sebuah tugu, percakapan ini diakhiri dengan mempersilahkan sang MENKO mengikuti masuk ke kendaraan yang masih terparkir di luar. Rombongan sang menko kami bawa ke Loji Gandrung di Surakarta.
Loji Gandrung adalah sebuah bangunan zaman kolonial bercorak bercorak renaissance dengan interior rococo, bekas milik seorang berkebangsaan Belanda yang konon mempunyai hubungan erat dengan para bangsawan Surakarta sebelum perang. Gedung ini digunakan sebagai kediaman dinas para wali kota Surakarta.
Di waktu itu walikota Utoyo Ramelan, karena berpihak kepada G30S menyerahkan diri kepada pihak yang berwajib untuk kemudian ditahan. Di dalam gedung inilah saya mempersilahkan yang mulia MENKO Wakil Ketua MPRS untuk menulis pengakuannya selama beroperasi di daerah Surakarta.
Proses verbal
Para tawanan anggota-anggota pengawal DN Aidit sudah ditempatkan di ruang yang pantas bagi mereka, saya kemudian minta dengan segala hormat agar sang Menko Sudi duduk tenang dan santai menulis pengalamannya selama ini. .
Agaknya Aidit sudah maklum bahwa situasi saat ini tidak akan membantu protes protesnya seperti tatkala ia masih berada di Sambeng beberapa saat berselang.
"Saya minta kopi panas biar tenang pikiran saya"
"Baik pak"
dan kopi panas pun segera disajikan kepadanya
Satu jam lamanya Aidit hanya merokok saja, berbatang-batang sigaret yang telah kita sediakan untuknya telah dihabiskan. Malah dia minta kopi satu cawan lagi. Tetapi kemudian setelah itu hanya berkepul asap dari mulutnya dan sang Menko itu hanya melihat plafon saja tanpa menuliskan sepatah kata pun di atas kertas. Pulpen yang saya berikan hanya dibuka dan ditutup tanpa menggunakan sehurufpun Aidit tidak juga menulis.
Macam-macam pikiran timbul pada benak saya apakah ini akan mengalihkan perhatian kita, ataukah di luar ruangan ini ada pada penyelamatnya yang akan membebaskan dirinya dari cara pengamanan kami ini.
Setelah satu jam lebih Aidit tidak juga berkutik kutik untuk menulis, saya dekati sang MENKO itu.
"pak, untuk memudahkan bapak, biarlah bapak yang berucap, kami yang menulis"
"Baik"
Aidit setuju, maka salah seorang petugas kami Mayor SL lalu menuliskan pengalaman sang MENKO itu di Jawa tengah, dan sebelumnya, dan maksudnya kemudian. bersamaan dengan itu letnan G telah memotretnya berkali-kali.
Di antara kalimat-kalimat pengakuan Aidit itu terbaca:
"Saya adalah satu-satunya yang memikul tanggung jawab paling besar dalam peristiwa G30S yang gagal, dan yang didukung oleh anggota-anggota PKI yang lain, dan organisasi-organisasi massa di bawah pimpinan PKI. Sebagaimana diketahui saya mengerjakan rencana untuk menghimpun kekuatan komunis di Jawa tengah. Saya menyelidiki berbagai daerah di sekitar solo, dan memberi pimpinan sampai tanggal 21 Oktober 1965. Pencetusan di solo telah diputuskan sebagai titik pusat di Jawa tengah ditetapkan waktu tanggalnya 23 Oktober 1965. Perintah dikirim pada PKI (sel-selnya) untuk menebangi pohon-pohon sepanjang jalan yang menuju ke Surakarta, membentuk barikade, mengadakan pemogokan umum, serta menangkapi pemimpin golongan kanan".
Aidit lalu membubuhkan tanda tangannya
Setelah itu semua, sang MENKO saya persilahkan naik ke jeep. Kali ini saya duduk di belakang, saya telah berpesan kepada para perwira pengawal, agar siap menembak kalau kalau nanti Aidit meloncat hendak melarikan diri sewaktu kendaraan berjalan.
Sudah beres
Pada waktu kami selesai menuliskan pengakuan Aidit itu datang seorang perwira cpm bernama MS. Dengan caranya yang bersahabat sekali ia minta film yang kami buat memotret menko itu ujarnya "biarlah CPM ini saja yang mengurusi film itu kelak akan saya kembalikan setelah dicuci dan dicetak"
Cetakan film itu dikembalikan beberapa waktu kemudian. Proses verbal saya serahkan kemudian ke Mayjen Suryo Sumpeno, dua minggu kemudian Mayjen Suryo Sumpeno selaku Pangdam VII/ Diponegoro memerintahkan membakar semua foto-foto Aidit dan proses verbal itu hingga musnah.
Beberapa waktu berselang, saya mendapatkan teguran dari utusan BAKIN karena keterangan Aidit dan gambar-gambarnya sewaktu ia tertangkap di Surakarta itu, termuat di sebuah surat kabar di Jepang. Agaknya MS tadi mengirimnya dan entah dengan jalan bagaimana, sehingga semuanya tadi bisa tersiar di Tokyo.
Begitulah soal proses verbal terpaksa saya membuat ulangan tanpa tanda tangan Aidit. Saat Aidit kami muat di dalam jeep, juga perwira cpm ini bertanya hendak dibawa kemana sang Menko itu. Katanya sebaiknya ia saja yang melaporkan kepada panglima Kodam 7 Diponegoro di Semarang. Maka saya katakan kepadanya bahwa itupun akan saya lakukan sendiri.
"saya ikut ke Semarang" kata MS
Saya tidak mencegahnya dan saya minta kepadanya supaya kendaraan yang ditumpangi olehnya berjalan di depan.
Saya masih ingat peristiwa itu tanggal 22 Desember 1965. Nampaknya MS tidak begitu menghiraukan kendaraan yang kami tumpangi bersama sang Menko Wakil Ketua MPRS itu.
ketika rombongan kami memasuki kota Boyolali, saya memerintahkan kepada kopral pengemudi itu untuk membelokkan jeep ke jalan lain menuju suatu tempat di dalam kota, sampai di tempat yang kami tuju jeep dihentikan, dan saya persilahkan sang Menko untuk turun.
Aidit terkejut, "mau dikemanakan saya ini ?'
jawab saya: " saya antar bapak menyusul Pak Yani"
Aidit kelihatan gugup, paras mukanya berubah kecut.
Dalam pada itu, saya perintahkan agar operator radio mencoba menghubungi menghubungi MAKOSTRAD di Jakarta. entah mengapa gelombang radio kami tidak bisa tersambung dengan markas itu. Bintara yang melayani radio itu mencoba lagi namun tetap sia-sia, Jakarta tidak dapat di kontak. Maksud saya akan mau melapor kepada Panglima Kostrad apa yang harus saya perbuat dengan tawanan sang Menko yang menjadi benggolan pemberontakan ini.
untuk waktu sekejap pendirian saya agak goyah, apakah tidak akan saya lanjutkan minat saya ini atau saya lanjutkan maksud saya mengantarkan gembong komunis pemberontak ini ke neraka.
Akhirnya saya berketetapan bahwa itu harus saya laksanakan, apakah resiko yang harus saya tanggung. saya perintahkan pada Mayor ST untuk mencari sumur yang sudah lama tidak berair. Perigi itu memang sudah diketahui anak buah saya beberapa waktu sebelum peristiwa penangkapan gembong pemberontak komunis itu.
Sampai di depan perigi di tengah-tengah kebun pisang yang lebat itu, sekali lagi Aidit menggertak: "Tahu kamu apa artinya membawa seorang Menko, seorang wakil ketua MPRS kemari. apa ini sumur? untuk apa?
Jawab saya santai: "saya ngerti pak dan kalau bapak mau sumur ini buat apa, ini untuk bapak ....Bapak tau bukan, kalau pak Yani juga dimasukkan ke sumur seperti ini?"
"Jangan tergesa-gesa saya mau pidato dulu" usul Aidit
"Silakan" jawab saya singkat maka berpidato lah gembong komunis pemberontak itu selama 10 menit di hadapan kami berempat dalam keadaan gelap malam.
Tidak saya perhatikan lagi apa yang diucapkannya, ia menutup pidatonya yang berapi-api dengan hidup PKI 3 kali, dan bersamaan dengan berakhirnya ucapan Aidit itu meluncurlah beberapa peluru dari Laras senjata owen, yang telah lama menjadi teman seperjuangan saya semenjak perang kemerdekaan juga tak kalah melawan pemberontakan PKI Muso tahun 1948, tamatlah anaknya PKI Muso tahun 1948 itu.
Oleh tembakan-tembakan itu para prajurit lain yang tidak jaga terbangun, dan berlarian ke kebun pisang itu. Saya perintahkan mereka menebang pohon pohon pisang kebun itu, dan menimbunkannya ke dalam sumur itu yang berisikan almarhum Aidit tadi.
Para prajurit bertanya kepada kami apa yang terjadi pada malam hari menjelang pagi itu, saya jawab bahwa yang tertembak tadi adalah mata-mata musuh yang membantu pemberontakan komunis.
Lalu bagaimana?
fajar tanggal 23 November 1965 menyingsing. Para perwira staf saya NB, ST, SM dan 2 kopral pengemudi melihat adanya sesuatu yang bergejolak di dalam batin saya. Lalu saya bertanya-tanya dalam hati, apakah yang dimaksud dengan bereskan ini seperti yang diperintahkan panglima Kostrad sebelum saya berangkat ke Jawa Tengah ini?
Sekali lagi saya mencoba menghubungi MAKOSTRAD tetapi juga kali ini sulit diperoleh hubungan. Maka saya berketetapan untuk segera melapor kepada PANGDAM VII/ Diponegoro di Semarang waktu itu Brigadir Jenderal TNI Suryo Sumpeno.
Di kala saya sedang diliputi gundah gulana itu muncul lagi Perwira CPM, MS,
"Mana dia?" tanya MS singkat
"Sudah beres" jawab saya setengah acuh
"Wah ini bisa ramai nanti jadinya" kata MS.
"Apanya yang ramai lha wong sudah beres, ini kan jaman perang, Almarhum kan musuh kita".
Mana mayatnya ? tanya si M.S. sekali lagi.
"Sudah beres", jawab saya lagi.
Seharian saya tidak mungkin memejamkan mata, dan berpikir keras apa yang mesti saya perbuat
kemudian dan apakah yang saya lakukan itu sudah betul? Apa akan dibenarkan oleh atasan saya ? Ah, saya akan tanggung segala-galanya. Untuk menghilangkan jejak, saya perintahkan prajurit
prajurit menumpuk kayu kering di atas lobang sumur yang sudah dipadati tanah dan tebangan pohon pisang itu. Kayu-kayu kering itu kemudian saya perintahkan membakarnya. Beberapa hari kemudian saya persilahkan MS ke tempat itu, dan untuk melihat serakan kayu bakar dan abu yang bertumpuk.
"Nah, iní lihat, ia sudah beres, sudah jadi abu'"
Dengan demikian barang kali niyatan Simpatisan PKI M.S untuk menggali mayat pemberontak itu telah pudar, setelah mengira gembong Pemberontak PKI itu sudah terkremasi. Tetapi M.S. tidak habis-habisnya menakut-nakuti akan akibat dari perbuatan saya itu.
"Ini bisa panjang ekornya", kata Kapten C.P.M. MS itu.
"Biar itu akan saya hadapi. Sekarang saya akan lapor kepada PANGLIMA di Semarang".
"Saya sajalah yang lapor", Usul M.S lagi
"Ayo sama-sama saja kita laporan". Kata saya
Memang dialog ini sangat menjemukan, sewaktu saya sedang dirundung berbagai perasaan. Sesampainya di Semarang saya segera mencari Panglima, akan tetapi semua perwira staf tidak di tempat, kecuali KOLONEL WIDODO Asisten IV/LOGISTIK KAS KODAM VII yang ada di rumah. Memang parah keadaan Kodam VII pada waktu itu. Asisten 1/INTEL, ASISTEN V/TEERITORIAL dan masih beberapa perwira Staf lagi terlibat langsung di dalam pergolakan ini. Saya melaporkan kejadian itu kepada Kolonel Widodo, dan mohon dapat diteruskan laporan kepada PANGKOSTRAD.
Permohonan saya ini segera dipenuhi. Sekembalinya saya di Brigade, saya mendapat surat Telegram yang menyatakan agar saya menghadap PANGKOSTRAD di gedung Agung di Yogyakarta esok pagi tanggal 24 Nopember pukul 15.00
Menghadap PANGKOSTRAD
Malam harinya saya juga tidak dapat memejamkan mata, karena berbagai macam pertanyaan timbul di di benak saya. Apalagi setelah ada dua orang utusan dari Istana Jakarta yang mencari AIDIT,
berpegang kepada perintah PANGKOSTRAD waktu saya diperintahkan ke Jawa Tengah untuk membereskan anak-anak PKI Madiun yang memberontak tahun 1948 itu, 17 tahun yang lalu.
Terkenang saya pada 17 tahun yang lalu, juga berkisar pada bulan September dan Oktober 1948. Pada saat Persetujuan Renville ditandatangani, pasukan saya yang semula ditempatkan di front Jawa Barat, di belakang apa yang dulu dinamakan garis Van Mook itu di Hijrahkan.
Pasukan kami kembali ke induk Pasukan Batalyon Brotosewoyo sub territorial Banyumas di Banjarnegara, yang dipimpin oleh Letnan Kol.М. ВАНRUN.
Tatkala mulai berkecamuk pemberontakan komunis pada tahun 1948 itu, saya dipanggil oleh Letkol M. BAHRUN perintahnya singkat "YASIR sekarang Kompimu harus bertempur melawan pemberontakan komunis itu. Musuhmu yang hancur,atau kompimu yang hancur"
"Saya harus melawan 3 Batalyon mereka Pak, yang bersenjata lengkap ? Batalyon Sugiri, Batalyon Mahmud, Batalyon Sugamah dan satu Batalyon lagi".
"Jangan takut. Kamu TNI Tentara pemerintah. Mereka itu cuma tentara partikelir dari Biro Perjuangannya Amir"
"Berangkatlah dan kembali dengan kemenangan, atau kamu hanya kembali namamu saja, jangan khawatir, makammu akan kita rawat baik baik, dan ingatlah bahwa jasamu merupakan salah satu pancangtegaknya Sang Merah Putih"
Posting Komentar